Ahmad Tholabi Kharlie, “Sosok Multi Talenta yang Berkhidmat untuk Seni Islam”

Majalah Hidayah: Edisi 93, Mei 2009. Lelaki berwajah cukup tampan dan cool ini bisa dibilang multy talented (serba bisa). Tidak saja prestasi akademiknya yang mengagumkan, seperti lulusan terbaik Madrasah Ibtidaiyah (MI) Samangraya I Ciwandan, Cilegon, Banten (1989), lulusan terbaik Sekolah Dasar Negeri (SDN) Samangraya II Ciwandan, Cilegon, Banten (1989), lulusan terbaik Kelompok Kerja Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Anyer Serang Banten (1992), hingga Magister Terbaik Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2003). Tapi, juga dia dianugerahi beragam potensi lainnya yang jarang sekali dimiliki orang lain, yaitu qari (pembaca seni al-Qur’an) dan khattat (penulis kaligrafi al-Qur’an) sekaligus. Bahkan, suara merdunya itu sempat membuatnya menjadi juara MTQ se-Bandung Raya dan menggondol hadiah Umrah ke tanah suci, dan guratan indahnya yang tertuang dalam bentuk kaligrafi Arab mengantarkannya hingga ke manca negara.

Ahmad Tholabi Kharlie, begitu nama lengkapnya. Lelaki yang sehari-hari dipanggil Abi ini dilahirkan di Serang, Banten, pada 7 Agustus 1976. Saya mengenal Abi saat sama-sama nyantri di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Pesantren Darussalam Ciamis, Jawa Barat. Dia kakak kelas saya, beda dua tahun. Saat itulah saya mengetahui bakatnya dalam bidang qari dan khattat. Ia kerapkali dipanggil untuk menjadi qari setiap acara-acara keagamaan dan menjadi imam masjid di pesantren kami. Dia juga penulis kaligrafi Asmaul Husna yang terpampang cukup besar di depan ruang utama masjid, sehingga setiap kali selesai shalat para santri bisa membacanya sebagai dzikir-an.

Sejak kecil, Abi sudah banyak mengukir prestasi. Saat masih duduk di SD kelas 3 dia pernah meraih juara melukis antar siswa SD se-Kecamatan Ciwandan. Pada masa yang sama (kira-kira kelas 4 SD) dia menjuarai lomba menghafal al-Qur’an 1 Juz beserta Tilawah tingkat Kabupaten Serang dan menjadi delegasi ke Provinsi Jawa Barat.

Menurut Abi, secara genetik, ia lahir dari keluarga yang dikenal memiliki talenta dalam olah vokal dan kerajinan tangan. Kakeknya, Ustadz Afifi Raman (alm), adalah seorang qari dan vokalis kelompok musik Gambus “Al-Hilal” di Cilegon-Banten. Pada masanya, beliau sangat digandrungi masyarakat karena punya suara yang khas dan menarik. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai pengrajin ukiran kayu, cincin, dan tentu saja tulisan aksaranya, baik latin maupun Arab, juga bagus dan halus. Demikian juga kedua orang tuanya yang bernama Ustadz H. Khaeruddin Ralie dan Hj. Masrubiyah, dikenal memiliki suara dan tulisan yang bagus.

Kemampuan kedua orang tua dan kakeknya dalam bidang olah vokal dan seni kreasi tangan, termasuk tulis-menulis tersebut, yang kemudian menginspirasikan dan menitiskan minat yang kuat dalam dirinya untuk bisa menjadi qari dan khattat di kemudian hari.

Dalam bidang kaligrafi, bakatnya semakin terasah pada saat nyantri di Pesantren Darussalam Ciamis (1992-1995). Saat jadi santri inilah dia sempat mendirikan dan menjabat Ketua umum pertama “Sanggar Seni Darussalam”. Minat terhadap seni kaligrafi Islam semakin menjadi-jadi ketika memulai studi di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (1995). Di sinilah dia mulai berkenalan dengan maestro kaligrafi Indonesia, Drs. H. D. Sirojuddin AR, M.Ag, atau yang akrab disapa “Pak Didin”. Dalam wadah Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA), di bawah bimbingan Pak Didin, kemampuan menulis kaligrafinya kian meningkat secara tajam.

Sedangkan, bakat qari-nya semakin terasah dan mencuat manakala ia bergabung dan kemudian menjadi Ketua Umum Himpunan Qari-Qariah Mahasiswa (HIQMA) UIN Jakarta masa bakti 1997-1998. Di situlah ia banyak bersinggungan dengan qari-qari nasional yang telah go internasional, seperti H. Muammar ZA, H. Syarifuddin Muhammad, H. Muhammad Ali, Hj. Maria Ulfah, H. Junaidin Idrus, dan sebagainya.

Dalam spektrum yang lebih global, beberapa nama qari internasional yang turut memberi inspirasi Abi, antara lain: Syeikh Musthafa Ismail, Syeikh Mutawali, Seikh dr. Ahmad Nu’ayna’, Syeikh Thanthawi, Syeikh Antar, Syeikh Shiddiq Mansyawi, dan lain-lain. Sedangkan khattat internasional yang menginspirasinya adalah Musthafa Raqim, Hamid Al-Amidi, Hasyim Muhammad al-Baghdadi, Abdullah Zuhdi, Muhammad Izzat, Muhammad Sami, Davud Bektas, dan lain-lain.

Terlepas dari semuanya itu, Abi menganggap peran kedua orang tuanya dan kakeknya sangatlah kuat membentuk dirinya menjadi seorang qari dan khattat. Mereka adalah guru pertama Abi dalam bidang tilawah dan kaligrafi. Mereka tidak hanya mengenalkan, tapi juga mengarahkan dan membentuk Abi menjadi qari dan khattat yang baik. Misalnya, saat dia masih kecil dan mengikuti MTQ tingkat Provinsi keluar kota Serang, antara lain ke Bandung, Indramayu, dan sebagainya, maka dengan setia dan sabar Ema (panggilan ibu) turut mendampingi dan membimbingnya. Bahkan, kedua orang tuanya tak segan merogoh sakunya untuk membeli perlengkapan, literatur, kaset, dan sebagainya, untuk mendukung kedua bakatnya tersebut.

Hingga saat ini apresiasi mereka masih sangat tinggi. Kalau Abi sedang tampil tilawah di TVRI, misalnya, mereka dengan senang hati menyaksikan dan seraya memberi catatan bila ada yang kurang pas. Demikian pula ketika dia mengikuti kompetisi kaligrafi, baik level regional, nasional, maupun internasional, mereka sangat mendukung dan serius mendoakannya.
Menurut Abi, ada beberapa hal yang membuatnya tertarik pada kedua bidang seni Islami ini.

Pertama, (hingga saat) ia mengaku masih dan sedang concern dengan kajian hukum Islam.

Karakteristik ahli hukum, pada galibnya kaku, hitam-putih, saklek, dan sebagainya. Nah, dia ingin menepis stigma semacam itu. Sementara orang yang concern dengan seni, pada umumnya bersifat sentimentil, melankolis, mengedepankan cita rasa, dan sebagainya. Untuk itu dia ingin menggabungkan kedua kecenderungan itu, yakni hukum yang sarat dengan cita nurani dan seni yang tidak mengangkangi hukum.

Kedua, seni kaligrafi dan nagham/tilawatil quran bisa jadi medium dakwah. Pendekatan dakwah kultural semacam ini sudah pernah dicontohkan oleh Walisongo dan para pendakwah dari masa ke masa, dan terbukti efektif.

Ketiga, salah satu bidang seni dalam khazanah Islam yang tidak kontroversial adalah kaligrafi. Dari sisi manapun seni kaligrafi Islam ternyata hampir tidak pernah menuai kontroversi. Lain halnya dengan seni rupa lukis atau patung, yang sangat sensitif akidah. Demikian pula, seni baca al-Quran. Meski terdapat riak-riak kontroversi, tapi tidak substansial.

Yang terpenting, kedua seni tersebut, menurut Abi, menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat. Kaligrafi banyak terpampang di pelbagai media: buku, mesjid, gapura, pesantren, dinding-dinding rumah, dan sebagainya. Sedangkan Tilawah/Nagham kerap diperdengarkan di masjid-masjid, surau, pesantren, majlis taklim, baik lewat kaset maupun dibawakan langsung. Jadi secara sosiologis, keduanya telah menjadi bagian dari masyarakat. Tentu saja, ending-nya, melalui pengembangan seni baca al-Qur’an dan kaligrafi, dia berharap minat dan kecintaan masyarakat, khususnya umat Islam, terhadap kitab sucinya kian meningkat, untuk selanjutnya dipedomani secara kaffah.

Di almamaternya, UIN Syahid Jakarta, Abi masih istiqamah dalam pengembangan pembinaan al-Qur’an dan kaligrafi bagi mahasiswa di tengah deru isu skularisasi dan stigmatisasi outsider terhadap UIN. Sebagai mantan ketua HIQMA dan Ketua Departemen Pembinaan dan Pengembangan Minat dan Bakat (Depbinkat) LEMKA, Abi punya tanggung jawab moral untuk terus mengembangkan kedua bidang seni ini di almamaternya.

Banyak hal yang telah didapatkan Abi dengan mendalami kedua bidang seni Islami ini. Dalam bidang kaligrafi seperti penghargaan atas keikutsertaan dalam International Islamic Calligraphy Competition yang diselenggarakan IRCICA di Istanbul Turkey (2002), Terbaik IV (Saguhati) pada Peraduan Menulis Khat Arab tingkat ASEAN di Brunei Darussalam (2002 dan 2004), Terbaik II Musâbaqah Khat al-Qur’ân (MKQ) Tingkat Nasional di Kota Palu Sulawesi Tengah (2000), Terbaik I Musâbaqah Khat al-Qur’ân (MKQ) Propinsi Banten (2003), Terbaik II Musâbaqah Khat al-Qur’ân (MKQ) Tingkat Kabupaten Bogor Jawa Barat (1996), Terbaik II Musâbaqah Khat al-Qur’ân (MKQ) Tingkat Propinsi DKI Jakarta (1996), dan sebagainya.

Secara pribadi, Abi sendiri merasa kehidupannya menjadi semakin damai, mengalir, tanpa ambisi yang berlebihan. Semuanya bermuara pada bagaimana meletakkan kehidupan ini, di samping menikmati keindahannya lewat seni, juga meraih keberkahan dan ridha Allah Swt.

Selain itu, dia juga sempat mendapatkan hadiah Ongkos Naik Haji (ONH) sebagai Juara I Provinsi Jawa Barat (sekira tahun 2002). Namun bonus ONH ini dipersembahkan untuk ibunda (Ema) tercinta yang sudah mulai sepuh. Pada tahun berikutnya ia mendapat tiket Umroh karena menjuarai MTQ se-Bandung Raya (Juara I).

Keberkahan lainnya, Abi merasa kiprahnya dalam bidang akademik tidak mendapatkan hambatan yang berarti. Demikian pula jabatan dosen tetap UIN (PNS) hanya sekali ikut tes CPNS dan ternyata langsung dapat. Masih banyak lagi nikmat-nikmat materi lainnya dari keberkahan menggeluti al-Qur’an dan seni kaligrafi ini, yang diakui Abi, dengan sikap tersipu malu, seperti rumah pribadi, mobil pribadi, dan sebagainya. “Semua ini saya yakini sebagai berkah dari al-Qur’an, karena Allah menjanjikan demikian,” ujar Abi yang pernah tampil menjadi narasumber di “Hikmah Pagi” TVRI Pusat ini.

Saat ini Abi tidak lagi aktif lomba, tapi sudah dipercaya menjadi juri. Misalnya, ia pernah menjadi Ketua Majelis Hakim Cabang Khath al-Qur’an (MKQ) pada MTQ Tingkat Provinsi Banten (2007), Dewan Hakim Nasional pada Pekan Olah Raga dan Seni Pondok Pesantren Tingkat Nasional (Pospenas) IV di Kota Samarinda, Kalimantan Selatan (2007), Dewan Hakim Nasional Lomba Kaligrafi Nasional dalam rangka Festival Seni Budaya Islam Nusantara (FESBIN), Museum Istiqlal dan Bayt al-Qur’an TMII, Jakarta (2003), Koordinator

Kepaniteraan/Kepesertaan Eksibisi Kaligrafi Al-Quran se-ASEAN dalam Festival Islamic Center, Jakarta (2005). Bahkan pada MTQ Nasional XXII 2008, dia dipercaya sebagai anggota Hakim termuda, dan masih banyak lagi keikutsertaannya di dunia perhakiman.

Sayangnya, menurut Abi, saat ini apresiasi umat Islam terhadap seni-seni islami dan momentum MTQ kian rendah. Karena itu, ujarnya, diperlukan otokritik atau muhasabah (introspeksi diri), upaya konkret dan sistematis, baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait lainnya. Apakah ada yang salah dengan sistem pelaksanaannya atau mungkin telah terjadi perubahan paradigma sosial di tengah-tengah masyarakat mengenai MTQ? “Ini jelas memprihatinkan. Tentu, jadi PR kita bersama,” ujar Abi yang sedang menyelesaikan program Doktoralnya di UIN Jakarta, dalam ranah kajian Hukum Kekeluargaan Islam ini.

Demikian potret seorang yang punya dua kemampuan sekaligus yaitu qari dan khattat.

Sebenarnya, ada satu lagi: dia juga seorang penulis yang cukup produktif. Ulasannya banyak menghiasi altar-altar Media massa regional dan nasional, seperti Republika, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Pelita, Duta Masyarakat, Media Pembinaan, Fajar Banten, Harian Banten, dan aneka jurnal Ilmiah lainnya.

Semoga kisah hidupnya bisa menjadi inspirasi bagi kita semua! Amien.

Repoter Majalah Hidayah: Eep Khunaefi

(Box)PENGHARGAAN DAN PRESTASI

2 Tanggapan

  1. Weleh-weleh, luar biasa kawan kita yang satu ini, Pak Doktor yang memiliki aneka prestasi mengagumkan. Awas banyak yang ngelirik lho… hehehe

    Semoga kiprahnya yang agung dapat memberikan warna indah untuk kebangkitan Islam di masa depan. Amin.

  2. Subhanallah.pada yahun 2010 saya jadi petugas haji dari sudan, dan di tugaskan di Madinah. kebetulan DR.Tolabi juga di utus jadi petugas jamaah haji dari Indonesia. kita satu sektor, kita nginap di satu hotel, yaitu hotel A-Zahra.namun terus terang saya tidak tahu bahwa beliau punya bakat Qira’ah & Kaligrafi.padahal bakat saya juga sama.coba dulu saya tahu, pasti saya mau belajar sama dia. saya tahu bakat beliau ketika buka blok ini sekarang ( 2013 ).bagi pembaca yg tahu alamat beliau, nomor Hp & Facebook, mohon kabari saya. ini alamat Facebook saya.( IMAM HANAFI BINTANG). Terima kasih ya.

Tinggalkan komentar