Siapa Berhak Sandang Gelar Pahlawan?

Dalam perspektif sejarah perjuangan bangsa Indonesia, peristiwa pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya, adalah momentum yang diabadikan oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) sebagai Hari Pahlawan. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Nopember segenap lapisan masyarakat Indonesia larut dalam perayaan atau ‘hajatan’ yang bernuansa patriotisme ini. Peristiwa tersebut memang dijadikan sebagai simbol kepahlawanan dan keperkasaan bangsa Indonesia dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaannya.

Namun, di tengah hiruk pikuk ‘hajatan’ tersebut kita terkadang melupakan satu hal yang sesungguhnya sangat penting untuk dipahami. Yakni menyangkut pengertian pahlawan dan siapa yang berhak menyandang gelar terhormat tersebut. Sejauh ini kita hanya mengetahui dan memahami sosok pahlawan sebagaimana yang tercantum dalam daftar nama beserta foto tokoh-tokoh yang ditetapkan oleh negara, yang disebut sebagai “Pahlawan Nasional”. Padahal, pahlawan yang sejatinya kita hargai jasa dan pengorbanannya tidak hanya sekadar nama-nama itu.

Dalam konteks umum, pemaknaan terhadap pahlawan memang tidak dapat dilepaskan dari unsur subyektivitas dan kepentingan. Boleh jadi, seseorang dianggap telah berjasa besar dan rela mengorbankan apa saja demi kepentingan suatu kelompok. Maka oleh tersebut, ia dianggap sebagai pahlawan. Namun, anggapan serupa belum tentu akan diberikan oleh kelompok lain, yang secara diametral berbeda haluan.

Demikian halnya dengan para sosok pahlawan yang telah gugur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di satu sisi, oleh negara dan bangsa, mereka dianggap sebagai pahlawan yang telah berjasa bagi bangsanya. Sehingga mereka layak mendapat penghargaan dan kehormatan. Namun di sisi lain, dalam penilaian kaum penjajah, mereka diang-gap sebagai para penjahat (kriminal) karena dinilai telah melakukan pembangkangan dan pemberontakan terhadap mereka.

Kenyataan ini menjadi dapat dimaklumi ketika kita memahami karakteristik politik sejarah yang cenderung subyektif. Subyektifitas sejarah memang menjadi hal yang inheren dan identik, terutama ketika dihadapkan pada penilian terhadap sosok maupun peristiwa.

Oleh karena itu, sebagai salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap jasa-jasa para pejuang, setiap negara, biasanya memiliki tradisi konstitusional, yakni menetapkan sosok-sosok tertentu melalui kepres atau kepmen—sebagai pahlawan nasional. Aturan legal formal tersebut, dengan demikian, menjadi legitimasi yang kokoh berkenaan dengan status kepahlawanan. Namun, persoalan-nya akan menjadi bias ketika pemerintah negara (penguasa) memiliki visi dan pan-dangan yang subyektif terhadap suatu sosok tertentu.

Salah satu contoh konkret, mantan presiden Soekarno, yang dikenal sebagai Bapak Proklamator RI, baru mendapat gelar pahlawan nasional 15 tahun pascawafatnya. Namun, ketika ibu Tien Soeharto wafatyang waktu itu berstatus sebagai ibu negara—dengan merta merta bermunculan usulan agar gelar pahlawan nasional dianugerahkan kepada almarhumah. Dengan kedua contoh di atas, saya tidak bermaksud meng-giring kita pada sebuah interpretasi negatif. Namun, setidaknya kita dapat mengerti bahwa faktor politik ternyata berpengaruh besar terhadap penilaian makna kepahlawanan.

Boleh jadi, ketika seseorang dianggap pahlawan oleh khalayak masyarakat luas, karena mempertimbangkan jasa-jasanya, namun, oleh karena berbeda secara diametral—-terutama disebabkan perbedaan idiologi politik—-penguasa akhirnya tidak dapat memberikan penilaian secara obyektif.

Dalam konteks Indonesia, kriteria kepahlawanan dapat dikategorikan kedalam dua model. Pertama, pahlawan negara. Yakni penilai-an(pengakuan) terhadap sosok pejuang dalam perspektif dan kriteria yang ditetapkan oleh negara. Dalam perspektif ini, pengaruh ketokohan terhadap penguasa akan sangat berpengaruh terhadap keputusan pemerintah dalam menetapkan gelar kepahlawanan. Namun, sosok pahlawan berdasarkan kebijakan pemerintah biasanya juga memiliki legitimasi dari masyarakat luas. Hanya saja, agar tidak terjadi manipulasi penilaian terhadap sosok pahlawan, maka diperlukan suatu kontrol terbuka dalam proses penganugerahan gelar pahlawan nasional.

Kedua, pahlawan masyarakat atau pahlawan yang diakui oleh suatu komunitas tertentu dalam suatu lokus dan fokus yang tertentu pula. Kategori ini memang bersifat sangat terbatas pada penilaian dan pandangan komunitas tersebut. Maka wajar jika legitimasi kepahlawanan hanya berasal dari komunitas yang mengenalnya saja. Oleh karena karakteristik yang demikian, maka pahlawan dalam perspektif lokal tidak memiliki peluang untuk dimanipulasi atau dimanfaatkan untuk kepen-tingan politik belaka.

Kategori kedua ini memberikan inspirasi kepada kita, bahwa ternyata pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak hanya yang tertera dalam buku-buku sejarah saja yang telah mendapat pengesahan formal dari penguasa (negara). Namun, sosok-sosok patriot bangsa tersebar dan menjadi bagian inheren dalam komunitas masyarakat yang bersifat lokal dan jauh dari hiruk-pikuk kepentingan politik.

Namun, sekali lagi, penilaian terhadap kepahlawanan sesungguhnya sangat ditentukan oleh sejauhmana pengakuan masyarakat terhadap kiprah perjuangan seseorang, bukan terletak kepada kebijakan politik penguasa. Wallahu a’lam bi al-shawab

Artikel 4 November 2001

Satu Tanggapan

  1. Assalamu ‘alaikum wr wb

    Maaf pak saya mau tanya sedikit mengenai faham liberal, plural dll yang sedang menggerogoti umat Isalam bahkan para ustadz yang belakangan sangat menghawatirkan. Bagaimana menurut Bapak cara menghadapi mereka. Dan seberapa jauh faham ini membahayakan umat Islam.
    Terima kasih sebelumnya.
    Wassalam

Tinggalkan Balasan ke restu Batalkan balasan