Piagam Jakarta, Polemik yang Tak Kunjung Usai

Suara Pembaruan, Minggu, 24 Februari 2002

Judul Asli: Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945
Penulis: A. Syafii Maarif, et. al.
Editor: Kurniawan Zein & Sarifuddin HA
Penerbit: Paramadina, Jakarta
Cetakan I, September 2001
Tebal: Xxii+234 halaman

Usulan bahkan desakan mengenai pencantuman kembali tujuh kata “sakral” dari Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya), juga persoalan pemberlakuan syariat Islam tampaknya menyedot perhatian berbagai kalangan. Baik itu politisi, key person (tokoh masyarakat), mahasiswa, sampai kepada wong cilik pun ramai membicarakannya.

Kontroversi seputar Piagam Jakarta pada dasarnya bukanlah sesuatu hal yang baru dan memang tidak bisa dilepaskan dari ikatan sejarah bangsa Indonesia. Namun, perdebatan seputar hal itu seakan tak berujung-pangkal.

Hal itu boleh jadi sebagaimana dalam pengantar buku ini dikatakan oleh Denny JA bahwa persoalan syariat Islam umumnya dan piagam Jakarta khususnya merupakan bagian dari tema besar hubungan Islam-Negara yang kontroversial dan dilematis. Di samping hubungan emosional karena goresan agama dalam masyarakat Indonesia sangat mendalam.

Berkaitan kembali dengan pembicaraan Piagam Jakarta sebenarnya pernah dirembuk dalam tiga parlemen yaitu BPUPKI-PPKI pada tahun 1945, Majelis Konstituante tahun 1956-1959, dan MPRS tahun 1966-1968. Di parlemen sekarang pun masih meninggalkan tanda tanya besar mengenai penyelesaian persoalan tersebut.

Naiknya kembali ke permukaan polemik Piagam Jakarta berawal dari usulan sekaligus keinginan beberapa fraksi (PPP dan PBB) yang justru tidak hanya menimbulkan dualitas demonstrasi (pro dan kontra) di lingkungan parlemen, namun di luar lingkungan parlemen pun telah menimbulkan kecemasan, disintegrasi bangsa, kooptasi negara atas agama, atau pun distorsi pelaksanaan agama.

Gambaran kecemasan tersebut bisa dirasakan dari ekspresi tulisan cendekiawan Nurcholish Madjid atau pun Syafii Maarif. Mereka menegaskan bahwa Islam jangan hanya dilihat dari kaca mata formalistik-simbolik sebab yang akan timbul adalah Islam akan kehilangan rohnya sebagai rahmatan lil ‘alamin mengingat yang dinilai hanya sebatas kulitnya saja, bukan substansinya.

Selain itu, mereka juga mempertanyakan hal ikhwal kooptasi negara dalam menjalankan syariat Islam. Dalam tulisannya yang berjudul Tak Usah Membuka Kotak Pandora Cak Nur menegaskan bahwa dalam mengamandemen UUD 1945 hendaknya dihindari hal yang bersifat sensitif. Contoh, Islam sekarang berada pada posisi menang, karena itu Piagam Jakarta harus dikembalikan lagi untuk menjalankan syariat Islam. Cak Nur lebih menekankan bahwa Islam harus ditarik dalam garis generalisasi yang universal dan lebih tinggi, tetapi dalam pengaplikasiannya disesuaikan dalam konteks ruang dan waktu sehingga tidak terkesan eksklusif. Nah, yang terjadi kebanyakan dari umat Islam masih melihat segalanya dalam perspektif formalistis dan simbolik (halaman 37).

Pendapat itu diperkuat lagi oleh opini Ketua Umum PP Muhammadiyah M Syafii Maarif yang mengingatkan bahwa apakah dengan pencantuman syariat Islam dalam konstitusi lantas umat Islam di Indonesia akan melaksanakan syariatnya dengan sungguh-sungguh? Apalagi Islam itu tidak hanya berisikan doktrin yang mengatur soal simbol-simbol saja (halaman 42).

Sedangkan, pendapat yang secara eksplisit menginginkan pencantuman kembali Piagam Jakarta serta pemberlakuan syariat Islam bisa kita lihat dari tulisan yang disajikan oleh Ahmad Tholabi Kharlie (kandidat Master Hukum Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan A Muhamad Furwan (alumnus International Islamic University, Malaysia). Khususnya Ahmad Tholabi Kharlie dalam artikelnya yang berjudul Piagam Jakarta Cermin Buram Sejarah Politik Umat Islam, dia sangat menyesalkan atas kecilnya peran politik umat Islam yang tercermin dari kegagalan dimasukkannya Piagam Jakarta dalam konstitusi (halaman 151-153).

Selain tokoh-tokoh di atas, tidak kalah urun rembug uasan para pakar maupun cendekiawan muda yang menarik untuk disimak. Sebut saja Deliar Noer, Masykuri Abdillah, Azyumardi Azra, Luthfi Assyaukanie, Effendi Choirie, Zuhairi Misrawi, dan lain-lain.

Buku ini disusun atas empat bagian ditambah lampiran. Pada bagian pertama menyajikan tiga artikel yang menjadi perspektif dan spektrum dalam melihat tuntutan syariat Islam atau Piagam Jakarta khususnya, serta korelasi Islam dan agama (sic!, negara) umumnya. Sedangkan, pada bagian kedua memuat respons para elite di luar lingkungan parlemen tentang gagasan pencantuman kembali tujuh kara sakral tersebut.

Polemik seputar syariat Islam ditampilkan pada bagian ketiga buku ini. Sedangkan pada bagian keempat, berisi catatan-catatan dari pemerhati syariat Islam berkaitan dengan tuntutan dikembalikannya tujuh kata sakral itu dalam Piagam Jakarta.

Kehadiran buku berupa kumpulan artikel dari berbagai media massa itu perlu kita apresiasi karena selain menawarkan ulasan yang menarik serta menawarkan ide-ide asli dalam memecahkan polemic Piagam Jakarta yang absurd itu, juga tema yang diangkat pun tentu sangat relevan berkaitan dengan kontroversi pengembalian tujuh kata sakral dalam amandemen Pasal 29 ayat 1 yang sedang marak.

Minimal buku ini memberikan deskripsi mengenai risiko-risiko yang harus dipikul kedua belah pihak, baik yang pro maupun yang kontra atas pencantuman tujuh kata sakral itu. Satu hal yang paling krusial adalah jangan sampai kontroversi itu justru melahirkan konflik horisontal. Apalagi, kalau kita hayati lebih dalam, Islam sangat menjunjung tinggi perdamaian dalam ajarannya, sehingga pengakuan sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tidak hanya sebatas klain pribadi. (Fachrurozi)

2 Tanggapan

  1. saya jadi ingat waktu diskusi yang bapak adakan di kelas F (rabu, 3/11/2009). waktu itu bapak memberikan kami tema “argumentasi akan kepercayaan terhadap Al-Qur’an dan menjadikannya panutan”. untuk masalah mengimani, kami dengan mudah mencapai mufakat. tapi entah kenapa, waktu kami berdiskusi alurnya selalu mengarah ke permasalahan hukum-hukum dalam Al-qur’an yang menimbulkan pertanyaan “mungkinkah untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata? bukankah Al-qur’an sebagai panutan? atau mungkin tidak?” dan pertanyaan itu secara otomatis juga mempertanyakan syari’at Islam (no or yes in Indonesia). Tentu awalnya kami masih hitam putih, ada yang iya dan tidak. Yang menyatakan iya, adalah mereka yang secara membabi buta me-syari’ah-kan segalanya (laa hukma illa liLlah). Yang menyatakan tidak, termasuk saya, adalah karena kesetiaan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa (hubbul wathon minal iman), lagi pula Pancasila tidak menyimpang dari segi keimanan. Sejalan dengan waktu, akhirnya kami mufakat (mungkin ini hanya penilaian saya, bahwa kami mufakat), bahwa lebih baik mempertahankan rasa aman dalam hati bangsa, maksudnya, kalaupun akan diadakan revolusi perubahan ideologi, hal itu hanya akan menambah beban hati dan hilangnya rasa aman, karena dimana-mana yang namanya revolusi selalu berdarah-darah. Tapi, bagaimanapun juga hukum dalam Al-qur’an tetap kami yakini sebagai alterbatif terbaik. Jadi sebagai muslim, kami sudah seharusnya mengaplikasikan hukum-hukum tersebut, tapi dalam koridor yang dapat kami lakukan. yakni kami tidak mungkin melakukan hukum-hukum pidana, karena itu sudah kewenangan pemerintah. Yang mungkin untuk kami lakukan adalah hukum akidah dan hukum ibadah. itulah kemufakatan kami. bagaimana menurut bapak?

  2. Kalau kita memahami Piagam Jakrta dengan di hilang kan nya 7 kata , justru karena kejelian Founding Fathers dan juga karena rahmat Allah turun , coba renungkan kata ini jika tidak hilangkan
    ” Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,” apa ngak kacau justru dengan diganti kata “Ke Tuhanan Yang Maha Esa ” adalah sebuah penyelamatan bagi Umat Muslim .

Tinggalkan komentar